"Bagi
Sebagian Orang Mohon Petunjuk di Kuburan Kerap Sekali dilakukan, akan
tetapi jika Aqidah kita masih lemah lebih baik jangan pergi ke kuburan
karena jika kita meminta selain Kepada Alloh SWT akan Menjadi Musyrik"
Ziarah Kubur
bisa menjadi Solusi Untuk Mendekatkan diri (taqorub) Kepada Alloh SWT
di Tempat Orang Orang Shaleh, karena Sesungguhnya mencari ketenangan dan
kedamaian dalam taqorub itu yang lebih utama, selain untuk mentafakuri
betapa Orang yg kita Ziarahi itu sangat memerlukan Do'a Do'a kita dan
kita akan seperti Mereka (Meninggal) yang lebih utama lagi Kepada Kedua
Orang Tua baik yang masih Hidup atau yang telah tiada agar hati kita
selalu mengingat Alloh SWT.
Sebelum Anda Melalukannya fahamilah dan Pertebal Aqidahnya lewat Penjelasan dibawah ini:
ARTI ZIARAH KUBUR
Kata-kata ziarah menurut arti bahasanya adalah menengok. Ziarah kubur artinya
menengok kubur. Ziarah ke makam orang tua artinya menengok kemakam
orang tua, ziarah ke makam wali artinya menengok ke makam wali, ziarah
ke makam pahlawan artinya menengok ke makam pahlawan.
Menurut syariat
Agama Islam, ziarah kubur itu bukan hanya sekedar menengok kubur, bukan
sekedar menengok kemakam orang tua, bukan sekedar menengok makam wali,
bukan hanya sekedar menengok makam pahlawan, bukan pula untuk sekedar
tahu dan mengerti dimana seseorang dikuburkan, atau bukan hanya sekedar
mengetahui keadaan kubur atau makam, akan tetapi kedatangan seseorang ke
kubur atau ke makam dengan maksud untuk berziarah adalah mendo’akan
kepada yang dikubur atau yang dimakamkan dan mengirim do’a untuknya
dengan pahala dari bacaan ayat-ayat Qur’an dan kalimat Thoyibah, seperti
bacaan Tahlil, Tahmid, Tasbih, Sholawat dll. Dan perlu diketahui ziarah
kubur bukan untuk mintak kepada yang dikubur, melainkan justru kitalah
yang mendo’akan dan mengirim pahala dari bacaan-bacaan thoyibah kepada
mereka yang telah dikubur.
Dengan demikian, jelaslah bahwa ziarah kubur menurut Syariat Agama Islam adalah termasuk amal perbuatan yang baik.
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Abu Bakr Az
Zur’i rahimahullah pernah berkata, “Memuliakan mayit yang berada di
kubur serupa dengan memuliakannya di rumah yang ditempati semasa
hidupnya di dunia, karena kubur yang dia tempati saat ini telah menjadi
kediaman (baru) baginya”[1].
Kita layak memperhatikan apa yang beliau
katakan. Perkataan beliau tersebut menunjukkan seorang muslim meski
telah wafat, berhak untuk mendapatkan perlakuan santun dari saudaranya
yang masih hidup sebagaimana perlakuan tersebut ia dapatkan semasa
hidupnya di dunia. Hal ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang
santun dan sangat memperhatikan hak-hak sesama penganutnya, meskipun
mereka tidak lagi hidup di dunia ini.
Faktor yang memperkuat kenyataan tersebut
adalah Islam telah mengatur berbagai adab yang berkaitan dengan praktek
ziarah kubur, setiap muslim sepatutnya memperhatikan berbagai adab
tersebut. oleh karena itu, secara ringkas akan kami paparkan beberapa
adab ziarah kubur yang dapat kami kumpulkan disertai dengan berbagai
dalil dari al Qur-an dan sunnah nabi yang shahih diiringi dengan
pernyataan para ulama. Berikut beberapa adab ziarah kubur yang berhasil
kami kumpulkan.
* Ikhlas dan Mengharapkan Pahala dari Ziarah Kubur yang akan Dilakukan
Seyogyanya setiap muslim menyadari bahwa
ziarah kubur merupakan ibadah karena pelaksanaannya diperintahkan oleh
nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang telah kita ketahui.
“Kamu menganggapnya suatu yang sepele, padahal dia di sisi Allah adalah besar” (An Nuur: 15).
Oleh sebab itu, ziarah tersebut diniatkan
untuk mendapatkan pahala dan bukan diiringi dengan tendensi-tendensi
tertentu. Betapa banyak peziarah tidak menyadari hal ini sehingga
dirinya terluput dan terhalang untuk mendapatkan pahala.
وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ (١٥)
* Mengucapkan salam kepada Penghuni Kubur
Dianjurkan bagi peziarah untuk
mengucapkan salam kepada para penghuni kubur tatkala memasuki areal
pekuburan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menuntunkan ucapan
salam tersebut dalam beberapa hadits beliau, diantaranya,
اَلسَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ
الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ
مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ
لَلاَحِقُوْنَ
“Semoga keselamatan tercurah kepadamu,
wahai kaum muslimin dan mukminin. Semoga Allah memberikan rahmat kepada
mereka yang telah mendahului kami maupun yang akan menyusul, dan kami
insya Allah akan menyusul kalian.”[2].
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوُمِ مُؤْمِنِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ
“Semoga keselamatan tercurah kepada
kalian, wahai penghuni kampong kediaman kaum mukminin. Kami insya Allah
akan segera menyusul kalian.”[3].
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ
مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وِالْمُسْلِمِيْنَ وِإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ
لاَحِقُوْنَ . نَسْأَلُ اللهِ لَنَا وَلَكُمُ العَافِيَةَ
“Semoga keselamatan tercurah kepada
kalian, penghuni kampong kediaman, dari kalangan muslimin dan mukminin.
Ssungguhnya kami akan menyusul kalian. Kami memohon kepada Allah agar
keselamatan diberikan kepada kami serta kalian.”[4].
Namun, tidak disyari’atkan mengucapkan
salam tatkala berziarah ke pekuburan orang kafir. Bahkan disyari’atkan
untuk memberitakan kepada mereka bahwa adzab neraka akan segera mereka
dapatkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpesan pada
seorang Badui dengan sabda beliau,
حيث ما مررت بقبر كافر فبشره بالنار
“Kabarkanlah kepada orang kafir bahwa neraka telah menanti jika engkau melewati kuburnya”.
Tatkala Badui tersebut telah masuk Islam, maka diapun mengatakan,
لقد كلفني رسول الله صلى الله عليه وسلم تعبا ما مررت بقبر كافر إلا بشرته بالنار
“Sungguh rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah memberikan tugas yang membuatku capek. (Sejak beliau
memerintahkanku), saya mengabarkan bahwa adzab neraka telah menanti
setiap kali diriku melewati kubur orang kafir”[5]
* Melepas Sandal dan Tidak Berjalan di Atas Kubur
Peziarah diharuskan melepas sandal ketika
memasuki areal pekuburan dan tidak berjalan di atas kubur sebagai
bentuk penghormatan kepada saudaranya sesama kaum muslimin yang telah
wafat. Hal ini dinyatakan dalam hadits Basyir bin Ma’bad radhiallahu
‘anhu, “Pada suatu hari saya berjalan bersama rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba beliau melihat seorang yang berjalan di
areal pekuburan dengan memakai sandal, maka beliau menegurnya, “Yaa
shahibas sibtiyyatain (wahai yang menggunakan dua sandal), celaka
engkau, lepaskan sandalmu!” Orang tersebut melongok kepada yang
menegurnya, tatkala dia mengetahui orang tersebut adalah rasulullah,
serta merta dia mencopot kedua sandalnya.”[6].
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لأن أمشي على جمرة أو سيف أو أخصف نعلي برجلي أحب إلي من أن أمشي على قبر مسلم . وما أبالي أوسط القبور قضيت حاجتي أو وسط السوق
“Sungguh, aku berjalan di atas bara api
atau pedang, atau aku ikat sandalku dengan kakiku lebih aku sukai
daripada berjalan di atas kubur seorang muslim. Dalam pandanganku,
kejelekannya sama saja, buang hajat di tengah kubur atau di tengah
pasar.”[7].
Abu Dawud rahimahullah berkata,
“Aku melihat Imam Ahmad, jika beliau
mengiringi jenazah dan telah mendekati areal pekuburan, beliau melepas
kedua sandalnya.”[8].
Al ‘Allamah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Abu Bakr Az Zur’i rahimahullah mengatakan,
“Siapapun yang merenungkan larangan nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk duduk di atas kubur, bersandar dan
berjalan di atasnya, tentu dia akan mengetahui bahwasanya larangan
tersebut bertujuan untuk menghormati para penghuni kubur sehingga
manusia tidak menginjakkan kaki pada kepala mereka dengan sandal. Oleh
sebab itu, beliau pun melarang untuk buang air di antara kuburan dan
memberitakan bahwa duduk di atas bara api hingga membakar baju itu lebih
baik ketimbang duduk di atas kubur. Hal ini tentunya lebih ringan
daripada berjalan diantara kuburan dengan menggunakan sandal.
Kesimpulannya: wajib menghormati mayit yang mendiami kuburnya
sebagaimana penghormatan tersebut dilakukan di rumah yang dikediami
semasa hidupnya. Sesungguhnya kubur tersebut telah menjadi kediaman
baginya.” [9].
* Mendo’akan Ampunan bagi Mayit, Tidak Mendo’akan Keburukan atau Mencelanya
Dari penjelasan pengarang Zaadul Ma’ad
yang telah lewat mengenai tata cara ziarah kubur nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, kita temukan bahwa peziarah dianjurkan untuk
mendo’akan ampunan bagi mayit, sebagaimana hal ini juga terkandung dalam
salam yang diucapkan ketika memasuki pekuburan.
Tidak boleh bagi peziarah untuk mendo’akan keburukan bagi saudaranya yang telah wafat.
Terdapat hadits yang menyatakan nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a bagi penghuni kubur. Dari ‘Aisyah
radliallahu ‘anha, dirinya berkata, “Pada suatu malam, rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari rumah. Maka aku mengutus
Barirah untuk membuntuti beliau, agar dirinya mengetahui kemana gerangan
beliau pergi.” Aisyah melanjutkan, “Ternyata beliau pergi ke pemakaman
Baqi’ul Gharqad. Beliau berdiri di ujung pemakaman tersebut sembari
mengangkat tangannya (untuk berdo’a), kemudian beliau pun pergi. Barirah
pun kembali dan memberitahukan hal tersebut kepadaku. Tatkala pagi
menjelang, aku pun bertanya kepada beliau, “Wahai rasulullah, kemanakah
gerangan engkau semalam?” Aku diperintahkan untuk pergi ke pekuburan al
Baqi’ untuk mendo’akan mereka.”[10].
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
لا تسبوا الأموات فإنهم قد أفضوا إلى ما قدموا
“Janganlah kalian mencela orang yang
telah wafat. Sesungguhnya mereka telah mendapatkan ganjaran atas apa
yang telah mereka perbuat.”[11].
* Mengambil Pelajaran dari Ziarah Tersebut
Hal ini tuntutan dari hikmah
pensyari’atan ziarah kubur, yaitu untuk mengingatkan peziarah akan
kematian yang akan menjemput dan mempersiapkan diri untuk kehidupan
akhirat yang akan dijalani serta berlaku zuhud di dunia. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ألا فزوروها فإنها ترق القلب، وتدمع العين، وتذكر الاخرة
“Ziarahilah kubur, sesungguhnya hal itu
dapat melembutkan hati, meneteskan air mata dan mengingatkan pada
kehidupan akhirat”[12].
* Tidak Bercanda ketika Berziarah Kubur
Ziarah kubur dilakukan untuk mengingatkan
peziarah terhadap kehidupan akhirat bahwa dirinya akan mengalami
kematian seperti yang dialami penghuni kubur. Tidak selayaknya jika
peziarah malah bercanda, melakukan guyon di areal pekuburan karena hal
tersebut bertentangan dengan tujuan pensyari’atan ziarah kubur,
melalaikan hati dan salah satu bentuk ketidaksopanan terhadap penghuni
kubur dari kalangan kaum muslimin. Ash Shan’ani mengatakan, “Seluruh
hadits ini menunjukkan pensyari’atan ziarah kubur serta memuat
penjelasan hikmah di balik hal tersebut, yaitu agar mereka dapat
mengambil pelajaran tatkala berziarah kubur. Dalam lafadz hadits Ibnu
Mas’ud disebutkan hikmah tersebut, yaitu untuk pelajaran, mengingatkan
pada akhirat dan agar peziarah senantiasa berlaku zuhud di dunia.
Apabila ziarah kubur dilakukan dengan tujuan selain ini, maka ziarah
yang dilakukan tergolong sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan
syari’at.”[13].
* Menjauhi Perkataan-perkataan Batil seperti Meratap atau Menangis dengan Meraung-raung
Boleh bagi peziarah untuk menangis jika
teringat akan kebaikan mayit atau semisalnya berdasarkan hadits Anas bin
Malik radliallahu ‘anhu, dia berkata,
“Aku turut menghadiri pemakaman anak
perempuan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan beliau duduk di
samping kuburnya. Aku melihat kedua mata beliau mengucurkan air
mata.”[14].
Terdapat juga atsar dari Hani, maula
Utsman radliallahu ‘anhu yang menyatakan bahwa Utsman sering menangis
apabila melewati areal pekuburan[15].
Namun yang harus dihindari jangan sampai
tangisan tersebut justru membuat dirinya meratap, mengucapkan atau
melakukan perbuatan yang mengundang kemurkaan Allah ta’ala dan
menghilangkan kesabaran sehingga menampakkan bahwa dirinya tidak
menerima ketetapan Allah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من نيح عليه فإنه يعذب بما نيح عليه يوم القيام
“Barangsiapa yang ditangisi dan diiringi
dengan ratapan, maka ia akan merasa tersiksa pada hari kiamat kelak
disebabkan ratapan tersebut.”[16].
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إن الله لا يعذب بدمع العين ولا بحزن القلب ولكن يعذب بهذا – وأشار إلى لسانه
“Sesungguhnya Allah tidaklah mengadzab
disebabkan bercucurnya air mata atau bersedihnya hati. Namun Allah
membuatnya tersiksa dengan sebab (ratapan) yang diucapkan oleh lisan
seseorang-beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat dengan
menunjuk lisannya.”[17].
Imam asy Syafi’i rahimahullah mengatakan,
“Akan tetapi tidak boleh mengatakan perkataan yang terlarang di samping
kubur, seperti menyumpah serapahi diri sendiri atau meratap. Namun,
jika anda berziarah untuk memintakan ampun bagi mayit, melembutkan hati
anda dan mengingat akirat, maka hal ini tidak aku benci.”[18].
Demikianlah uraian yang dapat kami sampaikan pada kesempatan ini. Semoga bermanfaat bagi diri kami pribadi dan sidang pembaca.
Selesai diedit kembali
Gedong Kuning, Yogyakarta, 12 Rabi’uts Tsani 1430.
[1] Tahzib ‘Aunul Ma’bud 7/216; Asy Syamilah.
[2] HR. Muslim nomor 974, An Nasaai 2037, Al Baihaqi nomor 7003, Abdurrazzaq nomor 6722
[3] HR. Muslim nomor 249
[4] HR. Ibnu Majah nomor 1547 dengan sanad yang shahih
[5] HR. Ath Thabrani dalam Al Mu’jamul Kabir 1/145, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ahkaamul Janaaiz hal. 251
[6] HR. Abu Dawud nomor 3230 dengan sanad hasan
[7] HR. Ibnu Majah nomor 1567 dengan sanad yang shahih
[8] Al Masaail hal. 158, dinukil dari Ahkaamul Janaaiz hal. 253
[9] Aunul Ma’bud 7/216
[10] HR. Ahmad nomor 24656 dengan sanad yang shahih, lihat Ash Shahihah nomor 1774
[11] HR. Bukhari nomor 1329
[12] HR. Hakim 1/376 dan selainnya dengan sanad hasan, lihat Ahkamul Janaiz hal.180
[13] Subulus Salam 2/162
[14] HR. Bukhari nomor 1291, Muslim nomor 933
[15] HR. Ibnu Majah nomor 4267 dengan sanad yang hasan
[16] HR. Muslim nomor 933
[17] HR. Bukhari nomor 1304
[18] al Umm 1/317
Tidak ada komentar:
Posting Komentar